HaiBandung - Ratusan orang dikabarkan tewas dan ribuan orang lainnya terluka akibat konflik bersenjata di Ibukota Khartoum, Sudan.
Berdasarkan data WHO, korban tewas akibat konflik bersenjata selama berminggu-minggu di Sudan mencapai 459 orang.
Sementara korban yang menderita luka-luka selama konflik bersenjata di Sudan dilaporkan mencapai 4.072 orang.
Baca Juga: Kreatif Banget Seniman Ini, Ciptakan Foto Presiden RI Versi Anak, Netizen: Lucu dan Manis
Bergabung dalam jumpa pers Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui video, perwakilan Sudan di WHO, Dr. Nima Saeed Abid mengatakan, bagaimanapun, angka tersebut mungkin sangat kecil dari yang sebenarnya.
Mengenai serangan terhadap sektor kesehatan, Abid mengatakan WHO telah memverifikasi 14 serangan sejak kekerasan dimulai.
Dalam serangan itu, delapan kematian dan dua orang luka-luka. Rumah-rumah sakit di Sudan juga rusak.
Baca Juga: Bikin Meleleh, Inilah Rayuan-rayuan Maut Maula Akbar untuk Produser Cantik Diana Limbong, Pacarnya
"Serangan terhadap perawatan kesehatan merupakan tindakan tercela dan harus dihentikan," katanya.
Mengenai upaya evakuasi, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, Jens Laerke mengatakan orang-orang telah dipindahkan dari Khartoum ke Port Sudan.
"Kami sedang mencari cara untuk memindahkan mereka lebih jauh lagi," ujar Laerke.
Pada Senin 24 April 2023 konvoi PBB ke Port Sudan telah mengevakuasi 700 orang yang terdiri dari personel PBB, LSM internasional, dan staf kedutaan asing.
"Kami tetap berkomitmen untuk tinggal dan melayani. Kami akan mempertahankan kepemimpinan yang kuat di Sudan ke depannya," ujarnya.
Pertempuran antara tentara Sudan (SAF) dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) meletus sejak 15 April 2023 di Khartoum dan sekitarnya.
Baca Juga: Miris, Tabung Gas Meledak di Warung Kelontong di Cimahi, 6 Orang Terbakar
Konflik mematikan itu dipicu ketidaksepakatan selama beberapa bulan terakhir antara SAF dan RSF atas reformasi keamanan militer.
Reformasi mengharapkan partisipasi penuh RSF dalam militer, yang menjadi salah satu isu utama dalam negosiasi oleh pihak internasional dan regional untuk transisi ke pemerintahan sipil demokratis di Sudan.***